Selamat Datang di blog KUA Kecamatan Purwokerto Timur, Dalam rangka meningkatkan pelayanan prima, KUA Purwokerto Timur menerapkan pelayanan berbasis IT

Senin, 15 Februari 2016

Fenomena Nikah Sirri

Dilihat dari sisi sosial pelaku nikah siri sebenarnya ada keinginan bahwa bahtera pernikahan yang  dibangun diupayakan pada tujuan menjaga kehormatan diri serta terlepasnya mereka dari segala bentuk fitnah dan keterjebakan pada perbuatan zina. Namun pada satu sisi mereka tidak mau direpotkan dengan permasalahan administrasi kenegaraan yang pada gilirannya harus berbenturan dengan permasalahan lainnya, terlebih jika hal itu dilakukan oleh mereka yang memutuskan untuk mengambil langkah poligami (beristeri lebih dari satu).
Kenyataan tersebut mendorong beberapa kalangan untuk menjadikan nikah siri seakan menjadi solusi untuk dapat keluar dari permasalahan sehingga fenomena nikah siri dikalangan masyarakat seakan menjadi permasalahan yang tak ada ujungnya.

v Nikah siri, antara hukum negara dan agama
Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada  pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara tersirat bunyi UU tersebut memberikan gambaran yang riil bahwa aspek penting dari sebuah pernikahan pada dasarnya ditujukan bagi terwujudnya kehidupan rumah tangga yang senantiasa menjadi harapan dan cita cita semua pasangan, yakni terbangunnya keluarga yang bahagia dan dapat mempertahankan keberlangsungan perkawinan tersebut dalam tata aturan yang bersendikan kepada nilai-nilai ketuhanan berdasarkan  kepada agama atau keyakinan yang diyakininya. Pengertian tersebut sesungguhnya sejalan dengan apa yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum 21 , yakni hadirnya keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Penggunaan nama sakinah itu diambil dari al Qur’an surat 30:21, litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Jadi keluarga sakinah itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT. Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya (bisa dikatakan mawaddah ini adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu seseorang pada lawan jenisnya). Sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. Jadi, Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Dalam peraturan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Makna penting dari pencatatan ini tentu merujuk pada berbagai hal yang berhubungan dengan administrasi ketatanegaraan yang mencatat populasi dari jumlah kelahiran dan kematian dan kepentingan birokrasi yang lainnya. Kita tahu, terlebih belakangan lalu ada beberapa kasus yang melibatkan pejabat/birokrat negeri ini yang “mengimani” ajaran ini, dari karena tidak sulit mengurusnya. Kendati demikian berberapa permasalahan terkait dengan masalah nikah Siri masih dianggap awam bagi kebanyakan orang. Hal itu lebih banyakj  disebabkan rasa takut tidak terdaftar di lembaga nikah, yakni Kantor urusan agama (KUA).Lalu apa arti dan makna  Siri itu sendiri? Seperti apa pandangan agama dan negara dalam hal ini? Sah atau tidak? Inilah bahan kajian penting yang perlu kita carikan titik temunya.

Terkait dengan nikah siri, ada tiga hal penting yang harus kita pahami :
1)     Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini.
2)     Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-’ursy.
3)     Saat ini Nikah siri adalah nikah yang syarat dan rukunnya telah terpenuhi, namun semua pihak yang terlibat didalamnya sepakat untuk merahasiakannya. Dalam kontekstual kehidupan masyarakat sekarang, sebagian mereka  memahami nikah Siri sebagai sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) alias "nikah di bawah tangan". Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara agama, tapi tidak sah menurut hukum positif (hukum negara). Akan tetapi ada juga yang mengambil sebuah pemahaman bahwasanya nikah siri adalah nikah tanpa wali pihak istri. Jika nikah siri tanpa wali begini, maka hukumnya tidak sah baik secara agama maupun secara hukum negara.
Sah tidaknya nikah sirri secara agama banyak bergantung kepada sejauh mana syarat-syarat nikah itu terpenuhi. Namun demikian, bila dilihat dari kacamatan hukum positif sebuah negara, maka pernikahan yang tidak tercatatkan dipandang ebagai perkara ilegal, karena siapapun yang akan m,elangsungkan aqad nikah harus dicatatkan di kantor urusan agama setempat untuk menghindari hal-hal yng tidak diinginkan juga untuk menguatkan birokrasi dalam sistem pencatatan yang banyak berhubungan langsung dengan masa depan anak-anak mereka di kelak kemudian hari. Apalagi dewasa ini banyak pula muncul adanya kasus pernikahan dengan berbagai alasan tertentu,tidak menghadirkan wali dari calon mempelai wanita yang bersangkutan, termasuk didalamnya tidak menghadirkan saksi yang menjadi salah satu rukun dalam proses  berlangsungnya aqad nikah.  Pernikahan seperti ini tentu saja bukan hanya tidak sah menurut hukum negara akan tetapi dipandang tidak sah juga menurut hukum agama. Dengan demikian pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan tersebut secara nyata akan lebih banyak berdampak pada terjadinya kerugian daripada kemanfaatan yang semestinya diperoleh. Sementara itu pula nikah sirri yang dipandang sah menurut kaidah agama ------bisa jadi dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan zina, akan tetapi jadi berdampak pada kesulitan dirinya dalam memenuhi kebutuhan urusan di dunia, sehingga tujuan dari bahtera kehidupan berumah tangga yang katanya ingin meraih unsur sakinah menjadi tidak terpenuhi karenanya.

v Lalu seperti apa status anak terhadap pernikahan Siri tersebut?
 Jika kita lihat dasar hukum di atas tadi, bahwa status anak dalam Siri ialah jelas dan tidak cacat terhadap hukum tersebut. Dengan demikian anak yang dihasilkan dari hasil hubungan suami isteri Siri tidak dapat dikenakan sanksi apapun. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan: “anak sah adalah:
(a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
(b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Namun perbedaan signifikan dalam pelaku nikah Siri terdapat dalam akta tertulis-tidaknya di lembaga pemerintahan, Kementerian Agama, dalam hal ini KUA.
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah.
Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: “adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini menimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah” tidak ada masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah” ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan laki-laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang  sah. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan.Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional. Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1;
v Apa dampak positif dan negatifnya nikah siri?
            Mensikapi terjadinya pernikahan siri yang berkembang ditengah-tengah masyarakat kita dewasa ini, ada dampak positif dan negatif yang juga perlu dicermati secara seksama :
1.      Dampak positif
- Meminimalisisr bagi terjadinya sex bebas yang berdampak pada terjadinya berbagai penyakit akibat penyimpangan seksual.
- Mengurangi beban atau tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulung punggung bagi keluarganya
2.      Dampak Negatif
- Kehidupan perselingkuhan pada akhirnya dianggap sebagai persoalan yang wajar
- Hilangnya status hukum  bagi seorang isteri dan anak terkait dengan pelaksanaan hukum di Indonesia maupun dalam tatanan kehidupan masyarakat.
- Bagi mereka yang berniat tidak baik terhadap institusi pernikahan, maka nikah siri bisa dianggap sebagai jalan untuk dapat memuaskan kehendak nafsunya.
Kesimpulan

Ajaran Islam demikian indah memberikan sebuah gambaran utuh dan menyeluruh bagaimana pernikahan dapat berlangsung menjadi sumber ketenangan dan ketentraman, hadirnya rasa cinta dan kasih sayang, yang pada gilirannya dapat menjadi bekal perjalanan setiap pasangan untuk mengarungi pantai harapan yang dicita-citakan, yakni keluarga dan rumah tangga yang seutuhnya dapat menjadi pembangun peradaban yang makin maju dan maslahat. Nikah siri sekalipun dapat dipandang sah menurut kaidah agama karena sudah terpenuhi rukun-rukun yang ada di dalamnya, akan tetapi dilihat dari kacamata hukum positif ternyata tidak menjadi sebuah kemaslahatan karena akan menimbulkan prasangka buruk dan kerugian secara lahir dan batin, terutama bagi seorang isteri dan anak-anak yang dilahirkannya. Padahal kaidah ushul menyatakan adanya pertimbangan maslahat wa al-mursalah terkait dengan sebuah pernikahan yang semestinya diperhatikan secara seksama. Sayangnya hal ini tidak semuanya dipahami oleh semua lapisan masyarakat di negeri. Hal itu juga banyak dipengaruhi oleh adanya pemahaman agama yang diamalkan secara kaku oleh kalangan tertentu yang cenderung hanya melihat pernikahan dari aspek keabsahan hukum agama tanpa melihat pertimbangan-pertimbangan lain yang akan memberi manfaat secara keseluruhan dalam konteks yang berimbang. Kondisi-kondisi seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu pekerjaan rumah bersama yang semestinya segera dituntaskan ,agar tidak menimbulkan kerugian dikelak kemudian hari. Bahwa gerbang pintu pernikahan adalah sarana yang dapat menghadirkan ketenangan dan ketentraman, cinta dan kasih sayang tersebut ternyata di dalam realitasnya juga perlu diseimbangkan dengan konteks kebutuhan hidup manusia di dalam hubungannya dengan faktor sosial kemasyarakatan yang tidak akan pernah lepas sepanjang manusia hidup di alam fana ini. (-swt-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer